Internasionalisasi Pendidikan antara Meningkatkan Gengsi atau Meningkatkan Kualitas

“The process of integrating an international, inter-cultural and/ or global dimension in the goals, functions(teaching/learning,research,services) and delivery of higher education”
(knight-2004)

Bicara mengenai internasionalisasi tak lepas dari kata “globalisasi” menurut Zainal Arif, LC,MA. “Internasionalisasi adalah proses menyejajarkan perguruan tinggi dalam perguruan internasional”.(Draf RUU). Jika kita menerapkan internasionalisasi pendidikan tinggi ada beberapa hal yang dapat menjadi harapan sekaligus peluang.
Menuju WCU( World Class University).Dengan adanya program ini diharapkan universitas – universitas menyiapkan diri untuk menuju kebutuhan pasar pendidikan internasional.

Memacu perguruan tinggi untuk berkompetisi. Bangsa yang hebat adalah bangsa yang tidak akan mudah menyerah jika menemukan sebuah tantangan. Justru ia akan merubah kesulitan mejadi sebuah tantangan untuk senantiasa meningkatkan kualitas SDM sehingga dapat bersaing dengan universitas-universitas dunia.

    Namun, pada kenyataannya Internasionalisasi Pendidikan ini hanyalah sebuah nama dan tidak memperhatikan mutu dan kualitas pendidikan tersebut. Terbukti dengan banyaknya sekolah dan perguruan tinggi yang belum menunjukkan hasil yang maksimal akan aktualisasi Internasionalisasi Pendidikan tersebut. Bahkan, banyak sekolah yang berlabel RSBI namun kualitasnya tidak lebih baik dari kelas reguler. Jika kita melirik universitas-universitas yang ada di negara lain seperti : Oxford university, Monash University, Shanghai University. Mereka tidak memfokuskan hanya pada pelabelan akan sebuah “ universitas bertaraf internasional”. Hal yang mereka fokuskan adalah peningkatan kualitas pembelajaran di setiap universitas tersebut. Sehingga mereka menghasilkan alumni –alumni yang memiliki segenap kemampuan dan wawasan yang cukup untuk bersaing di pasar global pendidikan.

     Berbeda dengan fenomena yang terjadi di Indonesia, begitu mudahnya pelabelan “universitas bertaraf internasional” bagi sebuah universitas, namun usaha untuk mencapai kualitas internasional yang masih dipertanyakan. Jadi, tak heran banyak alumni-alumni (S1) yang tidak jelas pekerjaannya. Karena, proses pembelajaran yang didapatkannya tidak maksimal atau “setengah-setengah”.

    Ditambah lagi pola fikir pemuda/i indonesia yang menanamkan, kuliah-dapat gelar S1-cepat dapat kerja.Karena tujuan sebenarnya dari mengenyam bangku pendidikan yang lebih tinggi untuk mengabdi pada negara. Bersama-sama membangun daerah sendiri, tanpa terpengaruh “iming-iming” jakarta sebagai kota metropolitan. Setiap tahun sarjana berbondong-bondong untuk merantau ke kota Jakarta. Mereka berfikir bahwasanya hidup di kota jakarta menyenangkan. Padahal jika kita tidak memiliki skill yang cukup, mungkin keberadaan kita hanya memadati kota jakarta yang semakin padat. Seharusnya pemerintah memfasilitasi lulusan sarjana yang ingin membangun daerah mereka masing-masing untuk mencegah  lulusan sarjana dari daerah ke jakarta.

   Pertanyaannya adalah  Tujuan dari internasionalisasi pendidikan tinggi itu apa? Apakah hanya untuk meningkatkan gengsi atau meningkatkan kualitas sebuah universitas tersebut.Kita hanya sibuk untuk mengejar peringkat indonesia di mata dunia, dan tidak fokus untuk meningkatkan kualitas. Jika kita bandingkan indonesia dulu dan indonesia sekarang. Perlu dicatat bahwa sebelum indonesia merdeka kita belum memiliki sarjana pertanian. Setelah tahun 1960an hampir semua universitas negeri memiliki fakultas pertanian. Tetapi ironisnya, produktivitas industri pabrik gula tebu merosot bila dibandingkan dengan sebelum kemerdekaan . Ini menunjukkan bahwa keberadaan Universitas di Indonesia paling tidak belum bermakna bagi peningkatan industri pabrik gula tebu. (Prof .Dr.Soedijarto)    

     Menghasilkan lulusan yang berkualitas secara intelektual dan profesional, menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ikut serta dalam memecahkan masalah nasional masyarakat bangsanya maupun masalah kemanusiaan adalah hakikat dari Tri Darma Perguruan Tinggi . Empat puluh empat tahun setelah ditetapkannya Tri Darma PT kita dapat mengajukan pertanyaan “ Sejauh mana keberadaan universitas di Indonesia yang telah mempengaruhi percepatan pembangunan nasional ?’’.Nampaknya kita belum memiliki jawaban yang positif. Bahkan kita menyaksikan betapa universitas kita dari yang paling tua sampai yang paling muda belum menunjukkan keinginan besarnya atau belum diberi kesempatan untuk melibatkan diri dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat bangsa indonesia.

      Ilmuwan-ilmuwan indonesia jika ingin melakukan research betapa sulitnya untuk meminta pemerintah memfasilitasi kegiatan mereka. Proses yang begitu rumit. Jangan salahkan mereka jika mereka memilih ke luar negeri untuk melakukan research dan hasilnya untuk negara yang mendanai kegiatan mereka.

     Ada yang bilang, kita tidak perlu melakukan liberalisasi pendidikan yang lebih penting adalah kita mampu menyelasikan masalah-masalah nasional pendidikan. Diskriminasi itu pun terjadi di negara ini. Mengapa mereka yang memiliki otak pintar(IQ tinggi) selalu disediakan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Bagaimana dengan nasib mereka yang memiliki otak biasa-biasa saja namun unggul di bidang yang lain. Karena kecerdasan dan kelebihan setiap manusia itu berbeda. Masalah yang lain, belum meratanya program “wajib belajar 9 tahun”. Kita masih sering melihat banyak anak-anak jalanan yang tidak bersekolah, mengamen sana-sini padahal hasilnya bukan untuk dirinya sendiri. Di Malaysia, jika ada anak jalanan yang tidak bersekolah di usianya yang wajib untuk sekolah, orang tuanya akan dikenakan denda 5 ringgit oleh pemerintah. Pengaturan yang jelas siapa yang layak untuk masuk Universitas, Politeknik, dsb untuk mencegah ledakan jumlah lulusan SMA memasuki universitas. Karena tidak semua orang bisa bertahan untuk mengenyam bangku pendidikan di Universitas. Tiga hal diatas yang sekiranya perlu ada dalam RUU PT, bukan hanya mengatur pemberian beasiswa bagi mereka yang cerdas sebagai bentuk diskriminasi pendidikan.Untuk itulah segenap peserta diskusi menolak keras RUU PT yang telah dibuat yang menunggu pengesahan bulan ini.

     Hal yang tak kalah penting, peguasaaan bahasa asing yang seharusnya dilihat sebagai kebutuhan bukan sebuah keterpaksaan. Jika kita menguasai 3 bahasa asing: Indonesia,Inggris dan Arab kita tidak akan mengalami kesulitan jika kita melakukan program”exchange student”. Kita dapat leluasa mengenalkan Indonesia kepada mereka yang belum mengenal. Pembiasaaan untuk menguasai bahasa asing inilah yang harus dibentuk sejak pendidikan yang paling dini. Bisa karena biasa.

      Jika kita bandingkan pendidikan di Jerman dan Belanda. Untuk bersekolah di PT, mereka tidak dikenakan biaya samasekali atau gratis. Karena setiap perusahaan besar yang ada di negara mereka wajib membiayai pendidikan di negaranya. Hal ini cukup membantu untuk meringankan pendanaan pendidikan. Indonesia masih menerapkan program “ subsidi”. Padahal dalam pembukaan UUD 1945, tertuang pemerintah wajib membiayai pendidikan bukan mensubsidi pendidikan. Inilah tugas kita semua untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Bukan hanya sekedar meningkatkan gengsi untuk diakui secara internasional dalam bentuk internasionalisasi pendidikan.


*Rangkuman hasil diskusi “ Telaah Kritis Internasionalisasi Pendidikan” di gedung foksi DPR komisi X nusantara 1 yang dihadiri oleh beberapa narasumber : Ananto Kusuma (Mendiknas), Zainul Arif,lc,MA( Perwakilan LIPIA), Prof.Dr.Soedijarto(Guru besar UNJ), Dra. Vivin Siti Nurfi’ah,M.Ed( Praktisi Pendidikan).
0 Responses